Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi atau memberi contoh oleh pemimpin kepada pengikutnya dalam upaya mencapai tujuan organisasi.Cara alamiah mempelajari kepemimpinan adalah "melakukanya dalam kerja" dengan praktik seperti pemagangan pada seorang senima ahli, pengrajin, atau praktisi.Dalam hubungan ini sang ahli diharapkan sebagai bagian dari peranya memberikan pengajaran/instruksi.
Ciri-Ciri Seorang Pemimpin
Kebanyakan orang masih cenderung mengatakan bahwa pemimipin yang efektif mempunyai sifat atau ciri-ciri tertentu yang sangat penting misalnya, kharisma, pandangan ke depan, daya persuasi, dan intensitas.Dan memang, apabila kita berpikir tentang pemimpin yang heroik seperti Napoleon, Washington, Lincoln, Churcill, Sukarno, Jenderal Sudirman, dan sebagainya kita harus mengakui bahwa sifat-sifat seperti itu melekat pada diri mereka dan telah mereka manfaatkan untuk mencapai tujuan yang mereka inginkan.
Kepemimpinan Yang Efektif
Barangkali pandangan pesimistis tentang keahlian-keahlian kepemimpinan ini telah menyebabkan munculnya ratusan buku yang membahas kepemimpinan.Terdapat nasehat tentang siapa yang harus ditiru (Attila the Hun), apa yang harus diraih (kedamaian jiwa), apa yang harus dipelajari (kegagalan), apa yang harus diperjuangkan (karisma), perlu tidaknya pendelegasian (kadang-kadang), perlu tidaknya berkolaborasi (mungkin), pemimpin-pemimpin rahasia Amerika (wanita), kualitas-kualitas pribadi dari kepemimpinan (integritas), bagaimana meraih kredibilitas (bisa dipercaya), bagaimana menjadi pemimipin yang otentik (temukan pemimpin dalam diri anda), dan sembilan hukum alam kepemimpinan (jangan tanya). Terdapat lebih dari 3000 buku yang judulnya mengandung kata pemimipin (leader). Bagaimana menjadi pemimpin yang efektif tidak perlu diulas oleh sebuah buku. Guru manajeman terkenal, Peter Drucker, menjawabnya hanya dengan beberapa kalimat: "pondasi dari kepemimpinan yang efektif adalah berpikir berdasar misi organisasi, mendefinisikannya dan menegakkannya, secara jelas dan nyata.
Kepemimpinan Karismatik
Max Weber, seorang sosiolog, adalah ilmuan pertama yang membahas kepemimpinan karismatik. Lebih dari seabad yang lalu, ia mendefinisikan karisma (yang berasal dari bahasa Yunani yang berarti "anugerah") sebagai "suatu sifat tertentu dari seseorang, yang membedakan mereka dari orang kebanyakan dan biasanya dipandang sebagai kemampuan atau kualitas supernatural, manusia super, atau paling tidak daya-daya istimewa. Kemampuan-kemampuan ini tidak dimiliki oleh orang biasa, tetapi dianggap sebagai kekuatan yang bersumber dari yang Ilahi, dan berdasarkan hal ini seseorang kemudian dianggap sebagai seorang pemimpin.
Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Kepemimpinan
Friday, November 12, 2010
teori kepemimpinan
Teori Kepemimpinan
Di dalam memahami tentang kepemimpinan, banyak orang telah melakukan penelitian, penelitian-penelitian tersebut telah melahirkan teori-teori baru tentang kepemimpinan. Teori-teori inilah yang selanjutnya akan dipergunakan sebagai bahan studi bagi orang lain, demikianlah seterusnya, berputar bagaikan sebuah roda yang
menggelinding terus pada sumbunya. Demikian pula penulis dalam memperluas pemahaman tentang konsep-konsep yang akan dihasilkan maka harus mendasari pemikiran dengan menggunakan teknik studi literatur atau pustaka.
Khusus untuk pemahaman tentang kepemimpinan, penulis akan memberikan beberapa konsep tentang kepemimpinan. Konsep-konsep kepemimpinan ini dapat ditunjukan didalam teori kepemimpinan. Berkaitan dengan judul Skripsi ini, yaitu tentang perilaku kepemimpinan, maka untuk lebih mengarahkan pembahasan di bawah ini akan diuraikan tentang teori kepemimpinan dengan model pendekatan perilaku.
Hal ini sesuai beberapa teori yang dikemukan oleh Miftah Thoha (1995:34) sebagai berikut :
Teori Sifat (Trait Theory)
Menurut teori ini bahwa untuk mengetahui tentang kepemimpinan harus dimulai dengan memusatkan perhatianya pada pemimpin itu sendiri. Penekanannya ialah tentang sifat-sifat yang membuat seseorang sebagai pemimpin. Menurutnya teori awal tentang sifat ini dapat ditelusuri dari zaman Yunani kuno dan zaman Roma. Pada zaman itu bahwa pemimpin itu dilahirkan, bukanya dibuat. Seperti halnya teori The Great Man yang menyatakan bahwa seorang yang dilahirkan sebagai pemimpin ia akan menjadi pemimpin apakah ia mempunyai sifat atau tidak mempunyai sifat sebagai pemimpin.
Teori Great Man baru dapat memberikan arti lebih realistis terhadap pendekatan sifat dari pemimpin, setelah mendapat pengaruh dari aliran perilaku pemikir psikologi. Yaitu ditegaskan bahwa dalam kenyataanya sifat-sifat kepemimpinan itu tidak seluruhnya dilahirkan, tetapi dapat juga dicapai melalui pendidikan dan pengalaman. Oleh karenanya perhatian terhadap kepemimpinan dialihkan kepada sifat-sifat umum yang dimiliki oleh pemimpin, tidak menekankan apakah pemimpin dilahirkan atau dibuat. Oleh karena itu sejumlah sifat-sifat seperti fisik, mental, kepribadian menjadi pusat perhatian untuk diteliti.
Sumber : http://fuadadman.com/?p=624
Di dalam memahami tentang kepemimpinan, banyak orang telah melakukan penelitian, penelitian-penelitian tersebut telah melahirkan teori-teori baru tentang kepemimpinan. Teori-teori inilah yang selanjutnya akan dipergunakan sebagai bahan studi bagi orang lain, demikianlah seterusnya, berputar bagaikan sebuah roda yang
menggelinding terus pada sumbunya. Demikian pula penulis dalam memperluas pemahaman tentang konsep-konsep yang akan dihasilkan maka harus mendasari pemikiran dengan menggunakan teknik studi literatur atau pustaka.
Khusus untuk pemahaman tentang kepemimpinan, penulis akan memberikan beberapa konsep tentang kepemimpinan. Konsep-konsep kepemimpinan ini dapat ditunjukan didalam teori kepemimpinan. Berkaitan dengan judul Skripsi ini, yaitu tentang perilaku kepemimpinan, maka untuk lebih mengarahkan pembahasan di bawah ini akan diuraikan tentang teori kepemimpinan dengan model pendekatan perilaku.
Hal ini sesuai beberapa teori yang dikemukan oleh Miftah Thoha (1995:34) sebagai berikut :
Teori Sifat (Trait Theory)
Menurut teori ini bahwa untuk mengetahui tentang kepemimpinan harus dimulai dengan memusatkan perhatianya pada pemimpin itu sendiri. Penekanannya ialah tentang sifat-sifat yang membuat seseorang sebagai pemimpin. Menurutnya teori awal tentang sifat ini dapat ditelusuri dari zaman Yunani kuno dan zaman Roma. Pada zaman itu bahwa pemimpin itu dilahirkan, bukanya dibuat. Seperti halnya teori The Great Man yang menyatakan bahwa seorang yang dilahirkan sebagai pemimpin ia akan menjadi pemimpin apakah ia mempunyai sifat atau tidak mempunyai sifat sebagai pemimpin.
Teori Great Man baru dapat memberikan arti lebih realistis terhadap pendekatan sifat dari pemimpin, setelah mendapat pengaruh dari aliran perilaku pemikir psikologi. Yaitu ditegaskan bahwa dalam kenyataanya sifat-sifat kepemimpinan itu tidak seluruhnya dilahirkan, tetapi dapat juga dicapai melalui pendidikan dan pengalaman. Oleh karenanya perhatian terhadap kepemimpinan dialihkan kepada sifat-sifat umum yang dimiliki oleh pemimpin, tidak menekankan apakah pemimpin dilahirkan atau dibuat. Oleh karena itu sejumlah sifat-sifat seperti fisik, mental, kepribadian menjadi pusat perhatian untuk diteliti.
Sumber : http://fuadadman.com/?p=624
Friday, November 5, 2010
organisasi lingkungan hidup WALHI
Kelompok Sepuluh, Cikal Bakal WALHI
Agar tidak ada persepsi bahwa organisasi ini adalah sebagai organisasi politik, maka namanya dilengkapi dengan Kelompok Sepuluh Pengembangan Lingkungan Hidup yang dideklarasikan pada 23 Mei 1978 di Balaikota. Kelompok Sepuluh ini merupakan wadah untuk tukar informasi, tukar pikiran, dan penyusunan program bersama mengenai masalah lingkungan hidup di Indonesia maupun lingkungan hidup di dunia, demi terpeliharanya kelestarian lingkungan makhluk hidup umumnya dan manusia khususnya. Anggota kelompok ini adalah Ikatan Arsitek Landsekap Indonesia (IALI), dengan ketua Ir. Zein Rachman, Yayasan Indonesia Hijau (YIH), dengan ketua Dr Fred Hehuwed, Biologi Science Club (BCS) yang diketuai oleh Dedy Darnaedi, Gelanggang Remaja Bulungan, yang diketuai oleh Bedjo Raharjo, Perhimpunan Burung Indonesia (PBI) dengan ketua H. Kamil Oesman, Perhimpunan Pecinta Tanaman (PPT) yang diketuai oleh Ny. Mudiati Jalil, Grup Wartawan Iptek yang diketuai oleh Soegiarto PS, Kwarnas Gerakan Pramuka oleh Drs. Poernomo, Himpunan Untuk Kelestarian Lingkungan Hidup (HUKLI) oleh George Adjidjondro, dan Srutamandala (Sekolah Tinggi Publisistik).
Masa Pertumbuhan WALHI
Kelahiran Walhi sebagai sebuah forum mempunyai kekuatan cukup besar, secara bertahap di tahun 83-an jumlahnya sudah mencapai 350 lembaga. Hal ini membuat pemerintah harus selalu ‘memperhitungkan” kelahiran dan gerakan WALHI. Kondisi sosial politik pada tahun-tahun pertama kelahiran WALHI yang selalu mendengungkan konsep pembangunan mengalir seiring dengan berkembangnya WALHI.
Gerakan Walhi di awal kepengurusannya dimulai dengan aksi ‘public relation,” yaitu memperkenalkan Walhi ke seluruh elemen, baik pemerintah, perusahaan, pers, mahasiswa, para artis, dan lain sebagainya, turut digandeng oleh WALHI. Di tahun-tahun pertama, peran WALHI adalah melakukan public awareness kepada masyarakat tentang isu-isu lingkungan. WALHI menyebutnya dengan periode menggugah atau membangunkan kembali banyak pihak tentang pentingnya pelestarian lingkungan dan peran serta masyarakat untuk mewujudkan lingkungan hidup yang sehat dan lestari. (Refleksi Umum 1980 –1992 dalam Laporan Kegiatan WALHI Periode 1989 – 1992). Hal tersebut terlihat dari berbagai kegiatan yang dilakukan, di antaranya adalah melakukan pendidikan lingkungan di berbagai lembaga dan pecinta alam, kolaborasi isu lingkungan dengan para seniman, seperti Iwan Fals, Sam Bimbo, Ully Sigar Rusady, dan lain-lain. Selain sosialisasi, langkah yang ditempuh adalah edukasi, yaitu memberikan pendidikan konservasi alam di beberapa kampus, dan melakukan seminar tentang lingkungan, mengadakan berbagai perlombaan, misalnya, menggambar, menciptakan lagu, dan karya tulis ilmiah.
Perlahan Walhi mendapatkan legitimasi dari masyarakat dan pemerintah. Walhi mendapatkan legitimasinya sebagai representasi LSM lingkungan seluruh Indonesia dan diundang DPR untuk didengar keterangannya dalam pembahasan UU Lingkungan Hidup. Menurut Koesnadi, Kelompok Sepuluh dan Walhi sudah dimintakan pendapatnya sejak awal bahkan dalam pembahasan RUU lingkungan hidup menjelang penyerahan draft final ke sekretariat negara. Mereka bekerja tiga hari tiga malam bersama para akademisi menyusun draft undang-undang di lantai 6 Gedung Kementerian Lingkungan. Pembahasan RUU Lingkungan Hidup itu sudah dimulai tahun 1976, bersamaan waktunya dengan permintaan pemerintah Amerika Serikat kepada USAID (US Aid for International Development) agar mulai melengkapi laporannya dengan analisa dampak lingkungan dari setiap proyek bantuan dan hibah mereka (Envi. Planning and Management, Proceeding, ADB, 1986).
Agar tidak ada persepsi bahwa organisasi ini adalah sebagai organisasi politik, maka namanya dilengkapi dengan Kelompok Sepuluh Pengembangan Lingkungan Hidup yang dideklarasikan pada 23 Mei 1978 di Balaikota. Kelompok Sepuluh ini merupakan wadah untuk tukar informasi, tukar pikiran, dan penyusunan program bersama mengenai masalah lingkungan hidup di Indonesia maupun lingkungan hidup di dunia, demi terpeliharanya kelestarian lingkungan makhluk hidup umumnya dan manusia khususnya. Anggota kelompok ini adalah Ikatan Arsitek Landsekap Indonesia (IALI), dengan ketua Ir. Zein Rachman, Yayasan Indonesia Hijau (YIH), dengan ketua Dr Fred Hehuwed, Biologi Science Club (BCS) yang diketuai oleh Dedy Darnaedi, Gelanggang Remaja Bulungan, yang diketuai oleh Bedjo Raharjo, Perhimpunan Burung Indonesia (PBI) dengan ketua H. Kamil Oesman, Perhimpunan Pecinta Tanaman (PPT) yang diketuai oleh Ny. Mudiati Jalil, Grup Wartawan Iptek yang diketuai oleh Soegiarto PS, Kwarnas Gerakan Pramuka oleh Drs. Poernomo, Himpunan Untuk Kelestarian Lingkungan Hidup (HUKLI) oleh George Adjidjondro, dan Srutamandala (Sekolah Tinggi Publisistik).
Masa Pertumbuhan WALHI
Kelahiran Walhi sebagai sebuah forum mempunyai kekuatan cukup besar, secara bertahap di tahun 83-an jumlahnya sudah mencapai 350 lembaga. Hal ini membuat pemerintah harus selalu ‘memperhitungkan” kelahiran dan gerakan WALHI. Kondisi sosial politik pada tahun-tahun pertama kelahiran WALHI yang selalu mendengungkan konsep pembangunan mengalir seiring dengan berkembangnya WALHI.
Gerakan Walhi di awal kepengurusannya dimulai dengan aksi ‘public relation,” yaitu memperkenalkan Walhi ke seluruh elemen, baik pemerintah, perusahaan, pers, mahasiswa, para artis, dan lain sebagainya, turut digandeng oleh WALHI. Di tahun-tahun pertama, peran WALHI adalah melakukan public awareness kepada masyarakat tentang isu-isu lingkungan. WALHI menyebutnya dengan periode menggugah atau membangunkan kembali banyak pihak tentang pentingnya pelestarian lingkungan dan peran serta masyarakat untuk mewujudkan lingkungan hidup yang sehat dan lestari. (Refleksi Umum 1980 –1992 dalam Laporan Kegiatan WALHI Periode 1989 – 1992). Hal tersebut terlihat dari berbagai kegiatan yang dilakukan, di antaranya adalah melakukan pendidikan lingkungan di berbagai lembaga dan pecinta alam, kolaborasi isu lingkungan dengan para seniman, seperti Iwan Fals, Sam Bimbo, Ully Sigar Rusady, dan lain-lain. Selain sosialisasi, langkah yang ditempuh adalah edukasi, yaitu memberikan pendidikan konservasi alam di beberapa kampus, dan melakukan seminar tentang lingkungan, mengadakan berbagai perlombaan, misalnya, menggambar, menciptakan lagu, dan karya tulis ilmiah.
Perlahan Walhi mendapatkan legitimasi dari masyarakat dan pemerintah. Walhi mendapatkan legitimasinya sebagai representasi LSM lingkungan seluruh Indonesia dan diundang DPR untuk didengar keterangannya dalam pembahasan UU Lingkungan Hidup. Menurut Koesnadi, Kelompok Sepuluh dan Walhi sudah dimintakan pendapatnya sejak awal bahkan dalam pembahasan RUU lingkungan hidup menjelang penyerahan draft final ke sekretariat negara. Mereka bekerja tiga hari tiga malam bersama para akademisi menyusun draft undang-undang di lantai 6 Gedung Kementerian Lingkungan. Pembahasan RUU Lingkungan Hidup itu sudah dimulai tahun 1976, bersamaan waktunya dengan permintaan pemerintah Amerika Serikat kepada USAID (US Aid for International Development) agar mulai melengkapi laporannya dengan analisa dampak lingkungan dari setiap proyek bantuan dan hibah mereka (Envi. Planning and Management, Proceeding, ADB, 1986).
Tahun 1982, WALHI bersama-sama lembaga swadaya masyarakat lainnya membahas dan memberikan masukan bagi penyusunan Undang-undang Pokok Pengelolaan Lingungan Hidup/Undang-undang No.4 Tahun 1982. Masukan yang kemudian diadopsi dalam undang-undang tersebut adalah pasal 6 tentang peran serta masyarakat.
Perkembangan LSM lingkungan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh politik nasional. Pemilu 1982 dimenangkan Golkar dengan dukungan penuh dari pemerintah yang mewajibkan anggota Korpri (Korps Pegawai Republik Indonesia) melakukan monoloyalitas mendukung partai pemerintah itu sehingga menguasai suara parlemen. Tidak ada perubahan politik dalam negeri yang menunjukkan dibukanya celah demokratisasi dan kebebasan memilih dalam Pemilu. Pemerintah bersikap menyambut tumbuhnya LSM lingkungan, terutama yang bergabung dalam forum Walhi, karena dianggap steril dari aspek-aspek politis. Hubungan antara pemerintah dengan WALHI sering tarik ulur. Meski tak bias dianggap bergandengan tangan, namun pelaksanaan PNLH II Walhi di Sekolah Calon Perwira (Secapa) TNI- Angkatan Darat di Bandung, dianggap sebagai sebuah tali persahabatan antara pemerintah dan WALHI.
Wacana yang berkembang dari beberapa diskusi LSM pertengahan 1980-an jelas menunjukkan tumbuhnya kesadaran bahwa persoalan lingkungan antara lain berakar pada birokrasi dan keputusan-keputusan politis yang dibuat pemerintah. Dapat dilihat hubungan antara kerusakan lingkungan dan keputusan politis, sehingga tidak mungkin memisahkan persoalan lingkungan hidup dengan proses pengambilan keputusan di pemerintahan. Tetapi tidak ada suasana yang dianggap kondusif untuk memulai sikap oposan, bahkan dalam bentuknya yang paling lunak, dengan pemerintah saat itu karena rezim Orde Baru yang semakin kuat (Erna Witoelar, kom. Pribadi).
Untuk mendukung pembiayaan program-progam lingkungan hidup, dibentuklah Yayasan Dana Mitra Lingkungan (DML) tanggal 27 Oktober 1983. Pendirian DML dimulai dengan pernyataan sikap oleh para pendirinya, seperti Soemitro Djojohadikusumo, Jakob Oetama, Erna Witoelar, dan Haroen Al Rasjid.
Periode pasca UU Lingkungan Hidup tahun 1982, WALHI ditandai dengan kenaikan anggota LSM yang mengalami booming yang belum pernah terjadi sebelumnya, dari sekitar 80-an LSM lingkungan pada tahun 1980, tercatat 320 pada tahun 1982 dan tahun 1985 sudah didata lebih dari 400 LSM. Ketika Walhi melaksanakan Pertemuan Lingkungan Hidup (PNLH) III tahun 1986, dari 486 LSM lingkungan yang ada, 350 di antaranya bergabung dalam Walhi. (Tanah Air, Edisi Khusus, April 1986 No.61 tahun VI) .
Pada periode 1986 – 1989 merupakan periode pematangan dan peningkatan kualitas peran WALHI. Periode ini diarahkan untuk Environmental Awereness Raising di kalangan LSM dan masyarakat luas terus dilanjutkan. Untuk ini, diperlukan back up data untuk mendukung advokasi. Hal ini kemudian dilanjutkan dalam kerja-kerja advokasi berikutnya.
Kampanye yang dilakukan WALHI tidak hanya mendapatkan dukungan dan legitimasi pemerintah dan masyarakat, namun juga media massa. Media Massa mulai memberi dukungan dengan mulai menempatkan isu lingkungan hidup sebagai isu-isu utama termasuk liputan pencemaran Merkuri di Teluk Jakarta tahun 1980 yang menjadi berita sampul majalah Tempo. Tahun 1984 Walhi dan penerbit Sinar Harapan menyelesaikan laporan Neraca Tanah Air yang ditulis secara populer dan menyajikan kondisi lingkungan hidup secara komprehensif. Sudah ada kesadaran tinggi di kalangan LSM bahwa wartawan dan media massa memegang peranan yang penting sebagai corong kegiatan lingkungan. Dengan dukungan beberapa wartawan senior, seperti Aristides Katoppo, dilakukan kursus jurnalistik lingkungan hidup tingkat nasional. Bahkan, Walhi mulai menerbitkan Warta Tanah Air.
Dalam forum-forum resmi tahun 1980-an, aktivis-aktivis WALHI tetap dinyatakan apolitis. Emil Salim dalam pembukaan PNLH III kembali mengulang keinginan pemerintah terhadap LSM dengan lebih halus, bahwa salah satu ikatan kuat yang menyatukan LSM dalam Walhi --dengan demikian eksistensi Walhi, karena tidak ada pamrih politik dan pamrih jabatan. Walaupun para aktivis tidak frontal menentang penilaian itu, tetapi mulai ada usaha untuk membuka orientasi baru gerakan LSM lingkungan, antara lain keinginan untuk melakukan advokasi lingkungan (Warta Tanah Air......idem, hal. 7-8).
Tahun 1996, pertama kalinya WALHI membuat laporan tahunan yang komprehensif dan diterbitkan untuk masyarakat luas. Ini bertujuan untuk membuka seluas-luasnya WALHI kepada masyarakat. Keterbukaan bagi WALHI sangat penting karena masih ada tuduhan-tuduhan yang menyatakan bahwa WALHI condong pada kepentingan luar negeri (asing) dan bukan kepada rakyat. Dari apa yang dilaporkan, masyarakat bisa mengetahui apakah WALHI condong pada kepentingan asing atau kepada kepentingan lingkungan dan demokratisasi di Indonesia (Emmy Hafild, wwc pribadi).
Mengawali tahun 2000, WALHI terus bergerak maju dan konsisten dengan perjuangan penegakan lingkungan. WALHI melihat bahwa tantangan makin kuat, meski demikian WAHI tak surut. Bukan terlalu optimis, namun, 20 tahun usia WALHI masih menunjukkan konsistensi dan arah gerakan yang jelas.
Pluralitas WALHI
Sejak awal, terlihat bahwa keanggotaan WALHI sangat beragam. Walhi terlahir bukan hanya dari ornop lingkungan saja, namun juga dari kelompok HAM, konsumen, kelompok keagamaan, perempuan, pecinta alam, jurnalis, kelompok masyarakat adat, dan anggota profesi lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa WALHI merupakan representasi dari keragaman elemen masyarakat yang ada di Indonesia, yang memiliki komitmen terhadap lingkungan. Sehingga wajar kalau ada sejumlah nama yang terlahir dari WALHI, misalnya Erna Witoelar, Agus Purnomo, Hakim Garuda Nusantara, Ifdal Kasim, Goerge Adji Tjondro, Rudi Badil, Wicaksono Noerhadi, Mas Achmad Santosa, Noersyahbani Kartja Sungkana, MS. Zulkarnaen, Emmy Hafid, dan masih banyak lagi. Mereka adalah orang-orang yang mempunyai komitmen dan aktif di WALHI pada masanya dan sekarang mengabdikan diri sesuai dengan pilihanya. Semua itu membuat WALHI kaya dengan warna dan dinamika hingga saat ini.
Agus Purnomo (Direktur Eksekutif WALHI tahun 1986 – 1989), mengungkapkan bahwa lembaga swadaya masyarakat di bidang lingkungan hidup tumbuh dalam 'keanekaragaman hayati` dengan aneka bentuk dan ukuran, jenis serta kegunaan. Belajar dari konsep ekologi di hutan tropis, keragaman, konflik internal, bahkan persaingan antar komunitas bukan faktor yang memperlemah kehidupan di hutan. (Refleksi, Laporan Kegiatan 1996 – 1989).
Menjadi Gerakan Sosial
Dalam Pertemuan Nasional Lingkungan Hidup ke VIII di Parapat, Sumatera Utara, akhir Juni yang lalu, diputuskan bahwa WALHI harus melakukan pembenahan diri. Pembenahan itu didasarkan atas kesadaran bahwa ke depan perjuangan untuk merebut dan mempertahankan kelestarian lingkungan dan sumber-sumber kehidupan itu sangat berat. Hal tersebut dikarenakan semakin kukuhnya hegemoni paham liberalisme baru dengan nama globalisasi. Dan yang kedua adalah semakin menguatnya dukungan dan pemihakan kekuatan politik dominan di dalam negeri terhadap kepentingan ekonomi global.
Dua hal itu menjadi landasan langkah WALHI di masa depan, yang semakin disadari tidak mungkin dapat dilaksanakan sendiri oleh WALHI tanpa dukungan luas dari publik. Untuk itulah, dengan kesadaran penuh WALHI membuka diri untuk seluruh masyarakat untuk bersama-sama terlibat dalam proses penyelamatan lingkungan. WALHI membuka seluas-luasnya partisipasi masyarakat untuk berperan aktif, baik dengan menjadi anggota WALHI maupun dengan menjadi donatur terhadap kegiatan-kegiatan penyelamatan lingkungan.
Dengan hal ini, jelas bahwa WALHI bukan hanya oleh dan untuk kelompok lingkungan, namun WALHI menjadi milik publik. Di mana publik secara bersama-sama membangun kekuatan untuk melawan ancaman yang tidak hanya datang dari dalam namun juga ancaman yang datangnya dari luar.
Sumber: http://www.walhi.or.id/in/tentang-kami/sejarah
Perkembangan LSM lingkungan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh politik nasional. Pemilu 1982 dimenangkan Golkar dengan dukungan penuh dari pemerintah yang mewajibkan anggota Korpri (Korps Pegawai Republik Indonesia) melakukan monoloyalitas mendukung partai pemerintah itu sehingga menguasai suara parlemen. Tidak ada perubahan politik dalam negeri yang menunjukkan dibukanya celah demokratisasi dan kebebasan memilih dalam Pemilu. Pemerintah bersikap menyambut tumbuhnya LSM lingkungan, terutama yang bergabung dalam forum Walhi, karena dianggap steril dari aspek-aspek politis. Hubungan antara pemerintah dengan WALHI sering tarik ulur. Meski tak bias dianggap bergandengan tangan, namun pelaksanaan PNLH II Walhi di Sekolah Calon Perwira (Secapa) TNI- Angkatan Darat di Bandung, dianggap sebagai sebuah tali persahabatan antara pemerintah dan WALHI.
Wacana yang berkembang dari beberapa diskusi LSM pertengahan 1980-an jelas menunjukkan tumbuhnya kesadaran bahwa persoalan lingkungan antara lain berakar pada birokrasi dan keputusan-keputusan politis yang dibuat pemerintah. Dapat dilihat hubungan antara kerusakan lingkungan dan keputusan politis, sehingga tidak mungkin memisahkan persoalan lingkungan hidup dengan proses pengambilan keputusan di pemerintahan. Tetapi tidak ada suasana yang dianggap kondusif untuk memulai sikap oposan, bahkan dalam bentuknya yang paling lunak, dengan pemerintah saat itu karena rezim Orde Baru yang semakin kuat (Erna Witoelar, kom. Pribadi).
Untuk mendukung pembiayaan program-progam lingkungan hidup, dibentuklah Yayasan Dana Mitra Lingkungan (DML) tanggal 27 Oktober 1983. Pendirian DML dimulai dengan pernyataan sikap oleh para pendirinya, seperti Soemitro Djojohadikusumo, Jakob Oetama, Erna Witoelar, dan Haroen Al Rasjid.
Periode pasca UU Lingkungan Hidup tahun 1982, WALHI ditandai dengan kenaikan anggota LSM yang mengalami booming yang belum pernah terjadi sebelumnya, dari sekitar 80-an LSM lingkungan pada tahun 1980, tercatat 320 pada tahun 1982 dan tahun 1985 sudah didata lebih dari 400 LSM. Ketika Walhi melaksanakan Pertemuan Lingkungan Hidup (PNLH) III tahun 1986, dari 486 LSM lingkungan yang ada, 350 di antaranya bergabung dalam Walhi. (Tanah Air, Edisi Khusus, April 1986 No.61 tahun VI) .
Pada periode 1986 – 1989 merupakan periode pematangan dan peningkatan kualitas peran WALHI. Periode ini diarahkan untuk Environmental Awereness Raising di kalangan LSM dan masyarakat luas terus dilanjutkan. Untuk ini, diperlukan back up data untuk mendukung advokasi. Hal ini kemudian dilanjutkan dalam kerja-kerja advokasi berikutnya.
Kampanye yang dilakukan WALHI tidak hanya mendapatkan dukungan dan legitimasi pemerintah dan masyarakat, namun juga media massa. Media Massa mulai memberi dukungan dengan mulai menempatkan isu lingkungan hidup sebagai isu-isu utama termasuk liputan pencemaran Merkuri di Teluk Jakarta tahun 1980 yang menjadi berita sampul majalah Tempo. Tahun 1984 Walhi dan penerbit Sinar Harapan menyelesaikan laporan Neraca Tanah Air yang ditulis secara populer dan menyajikan kondisi lingkungan hidup secara komprehensif. Sudah ada kesadaran tinggi di kalangan LSM bahwa wartawan dan media massa memegang peranan yang penting sebagai corong kegiatan lingkungan. Dengan dukungan beberapa wartawan senior, seperti Aristides Katoppo, dilakukan kursus jurnalistik lingkungan hidup tingkat nasional. Bahkan, Walhi mulai menerbitkan Warta Tanah Air.
Dalam forum-forum resmi tahun 1980-an, aktivis-aktivis WALHI tetap dinyatakan apolitis. Emil Salim dalam pembukaan PNLH III kembali mengulang keinginan pemerintah terhadap LSM dengan lebih halus, bahwa salah satu ikatan kuat yang menyatukan LSM dalam Walhi --dengan demikian eksistensi Walhi, karena tidak ada pamrih politik dan pamrih jabatan. Walaupun para aktivis tidak frontal menentang penilaian itu, tetapi mulai ada usaha untuk membuka orientasi baru gerakan LSM lingkungan, antara lain keinginan untuk melakukan advokasi lingkungan (Warta Tanah Air......idem, hal. 7-8).
Tahun 1996, pertama kalinya WALHI membuat laporan tahunan yang komprehensif dan diterbitkan untuk masyarakat luas. Ini bertujuan untuk membuka seluas-luasnya WALHI kepada masyarakat. Keterbukaan bagi WALHI sangat penting karena masih ada tuduhan-tuduhan yang menyatakan bahwa WALHI condong pada kepentingan luar negeri (asing) dan bukan kepada rakyat. Dari apa yang dilaporkan, masyarakat bisa mengetahui apakah WALHI condong pada kepentingan asing atau kepada kepentingan lingkungan dan demokratisasi di Indonesia (Emmy Hafild, wwc pribadi).
Mengawali tahun 2000, WALHI terus bergerak maju dan konsisten dengan perjuangan penegakan lingkungan. WALHI melihat bahwa tantangan makin kuat, meski demikian WAHI tak surut. Bukan terlalu optimis, namun, 20 tahun usia WALHI masih menunjukkan konsistensi dan arah gerakan yang jelas.
Pluralitas WALHI
Sejak awal, terlihat bahwa keanggotaan WALHI sangat beragam. Walhi terlahir bukan hanya dari ornop lingkungan saja, namun juga dari kelompok HAM, konsumen, kelompok keagamaan, perempuan, pecinta alam, jurnalis, kelompok masyarakat adat, dan anggota profesi lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa WALHI merupakan representasi dari keragaman elemen masyarakat yang ada di Indonesia, yang memiliki komitmen terhadap lingkungan. Sehingga wajar kalau ada sejumlah nama yang terlahir dari WALHI, misalnya Erna Witoelar, Agus Purnomo, Hakim Garuda Nusantara, Ifdal Kasim, Goerge Adji Tjondro, Rudi Badil, Wicaksono Noerhadi, Mas Achmad Santosa, Noersyahbani Kartja Sungkana, MS. Zulkarnaen, Emmy Hafid, dan masih banyak lagi. Mereka adalah orang-orang yang mempunyai komitmen dan aktif di WALHI pada masanya dan sekarang mengabdikan diri sesuai dengan pilihanya. Semua itu membuat WALHI kaya dengan warna dan dinamika hingga saat ini.
Agus Purnomo (Direktur Eksekutif WALHI tahun 1986 – 1989), mengungkapkan bahwa lembaga swadaya masyarakat di bidang lingkungan hidup tumbuh dalam 'keanekaragaman hayati` dengan aneka bentuk dan ukuran, jenis serta kegunaan. Belajar dari konsep ekologi di hutan tropis, keragaman, konflik internal, bahkan persaingan antar komunitas bukan faktor yang memperlemah kehidupan di hutan. (Refleksi, Laporan Kegiatan 1996 – 1989).
Menjadi Gerakan Sosial
Dalam Pertemuan Nasional Lingkungan Hidup ke VIII di Parapat, Sumatera Utara, akhir Juni yang lalu, diputuskan bahwa WALHI harus melakukan pembenahan diri. Pembenahan itu didasarkan atas kesadaran bahwa ke depan perjuangan untuk merebut dan mempertahankan kelestarian lingkungan dan sumber-sumber kehidupan itu sangat berat. Hal tersebut dikarenakan semakin kukuhnya hegemoni paham liberalisme baru dengan nama globalisasi. Dan yang kedua adalah semakin menguatnya dukungan dan pemihakan kekuatan politik dominan di dalam negeri terhadap kepentingan ekonomi global.
Dua hal itu menjadi landasan langkah WALHI di masa depan, yang semakin disadari tidak mungkin dapat dilaksanakan sendiri oleh WALHI tanpa dukungan luas dari publik. Untuk itulah, dengan kesadaran penuh WALHI membuka diri untuk seluruh masyarakat untuk bersama-sama terlibat dalam proses penyelamatan lingkungan. WALHI membuka seluas-luasnya partisipasi masyarakat untuk berperan aktif, baik dengan menjadi anggota WALHI maupun dengan menjadi donatur terhadap kegiatan-kegiatan penyelamatan lingkungan.
Dengan hal ini, jelas bahwa WALHI bukan hanya oleh dan untuk kelompok lingkungan, namun WALHI menjadi milik publik. Di mana publik secara bersama-sama membangun kekuatan untuk melawan ancaman yang tidak hanya datang dari dalam namun juga ancaman yang datangnya dari luar.
Sumber: http://www.walhi.or.id/in/tentang-kami/sejarah
Subscribe to:
Posts (Atom)